Nureini Pembina Istri Nelayan

http://www.danamonaward.org/index/finalis/4/finalis%20ke-4.html

Marwah tak mungkin lupa masa-masa itu: ketika setiap hari seperti main dadu. Hari ini bisa makan, besok belum tentu. Pendapatan suaminya sebagai nelayan tidak dapat ditebak. Bila hasil tangkapan ikan melimpah, ia bisa bernapas agak lega. Bila sedang musim paceklik, ia – dan banyak ibu rumah tangga di kampungnya-mengutang beras di warung.

Sekarang ia merasa jauh lebih baik. Bekerja sebagai tukang menghambur abon ikan dan mencabut duri ikan, ia diupah Rp 30 – 50 ribu per hari. Pendapatannya bisa bertambah jika ia juga melakukan pekerjaan lain, misalnya menggoreng abon ikan, yang dibayar Rp 250 ribu sekali menggoreng. “Dua tahun ini biaya membayar kontrak rumah saya yang bayar,” ujarnya ketika ditemui akhir September lalu.

Semua berkat Nureini, 42 tahun, warga Patingaloang, sarjana pertama di desanya. Janda beranak tiga ini adalah pendiri kelompok usaha wanita nelayan Fatimah Az Zahra yang bergerak di bidang pengolahan hasil laut. Produknya antara lain abon ikan, bandeng cabut tulang, hingga permen rumput laut. Pemasarannya merentang dari Jakarta hingga Papua.

Saat ini kelompok usaha nelayan Fatimah Az Zahra telah mengembangkan usahanya ke desa-desa di sekitarnya. Kini ada tak kurang dari 12 kelompok serupa yang terafilisasi dengan Nureini, dengan jumlah anggota setiap kelompok sekitar 25 wanita nelayan. “Saya mengembangkan usaha ini ke luar desa karena tahu para wanita nelayan akan terbantu dengan kegiatan ini, ” ujar Nureini menjelaskan alasannya memperluas aktifitas kelompoknya.

Nureini paham kesulitan para wanita nelayan karena ia tumbuh besar di sana. Setiap hari alumnus Fisipol Universitas Hasanuddin ini menyaksikan punggawa–sebutan untuk tengkulak di daerahnya–menguasai perekonomian warga yang mengandalkan hidup dari tangkapan laut. Punggawa sering memberikan pinjaman uang untuk kebutuhan hidup nelayan, dan balasannya nelayan menjual hasil tangkapan dengan harga yang ditentukan punggawa.

Ekonomi warga yang morat-morat berimbas pada keluarga mereka. Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi; anak-anak tidak menikmati masa sekolah dan berkeliaran di seputar tempat pelelangan ikan untuk menjadi kuli angkut ikan. “Dulu saya seperti mereka, mungkin lebih buruk,” kata dia. “Anak-anak saya juga hampir bernasib seperti anak-anak mereka.”

Nureini mengatakan, ada sebuah masa ketika ia pernah berada di titik terbawah. Itu terjadi setelah suaminya, Rusdi Ambo, meninggal pada 2004. Kehilangan pencari nafkah, ekonomi keluarganya langsung terpuruk. Nureini telah mencoba berbagai cara untuk menghidupi keluarganya. Ia bahkan pernah membuka warung, namun tetap tidak mencukupi.

Suatu hari, pada 2006, ia mengikuti pelatihan pembuatan hasil olahan ikan yang diadakan dinas perikanan di kotanya. LSM Koalisi Pemberdayaan Masyarakat Sipil (Kupas) yang memberikan informasi pelatihan tersebut kepada Nureini.

Sepulang dari pelatihan itu, wanita kelahiran 6 Agustus 1969 ini seperti disadarkan bahwa ada banyak hal yang bisa ia lakukan. Pikirannya melayang kepada ibu-ibu nelayan tetangganya. Saat itu Nureini adalah satu-satunya yang memiliki pendidikan sarjana di desanya. “Saya berfikir, saya yang sarjana saja sulit mencari uang, apalagi ibu-ibu nelayan sekitar saya,” ujarnya.

Singkat cerita, ia mengajak ibu-ibu nelayan untuk membuat olahan ikan pertama mereka–abon ikan. Saat itu abon ikan masih belum familiar. Rumah peninggalan orang tua dan suami yang cukup besar dibandingkan dengan rumah sekitarnya dijadikan tempat untuk memulai usaha. Sebanyak 35 kg abon ikan berhasil ia buat, meski saat itu ia tidak tahu harus dijual kemana.

Nureini berupaya memasarkan hasil olahan ikannya ke teman-temannya, tempat penjualan oleh-oleh, pasar, bahkan dinas perikanan tempat ia memperoleh ilmu mengolah ikan. Dalam waktu sebulan dagangannya habis. Labanya Rp 250.000, cukup untuk memelihara semangat ia dan ibu-ibu nelayan.

Nureini lalu mendirikan kelompok usaha wanita nelayan Fatimah Az Zahra. Selain membuat abon ikan, Nureini dan kawan-kawannya juga membuat bandeng cabut tulang, tumpi-tumpi, bolu kambu, olahan rumput laut, dan masih banyak lagi. “Sebulan kami bisa menghasilkan 600 kg abon ikan, tergantung pesanan. Harga setiap kilonya Rp 100.000.”

Menyadari bahwa usaha olahan ikan bisa memberikan keuntungan, ia mengajak ibu-ibu nelayan lain di satu kecamatan untuk juga membuat kelompok usaha seperti yang ia rintis. Ia juga memberikan pelatihan serta konsultasi kepada mereka.

Ada alasan lain Nureini mengajak mereka. Menurut dia, untuk memperbaiki pola pikir keluarga harus dimulai dari istri. “Istri bisa mempengaruhi suami, istri juga yang mendidik anak dan mengatur manajemen rumah tangga.”

Dengan adanya pendapatan baru dari pihak wanita, tingkat kekerasan dalam rumah tangga juga menurun. “Para suami tidak bisa lagi sewenang-wenang kepada istri mereka, dan para istri juga memiliki kegiatan sehari-hari yang berguna.”

Ada rutinitas lain di kampung itu, di rumah Nureini, setiap bulan. Tiap tanggal 10, ia menggelar makan gratis untuk orang berusia lanjut dan balita di sekitarnya. Biayanya dari keuntungan usaha yang ia sisihkan. “Semakin banyak saya memberi, maka akan semakin banyak yang saya dapatkan,” ujarnya. “Usaha ini bisa berkembang karena doanya orang miskin.”

Lima tahun sudah Fatimah Az Zahra berdiri. Nureini mengaku tak tahu persis sejauh mana program usaha berbasis sosial yang dilakukan kelompoknya berhasil menolong para wanita nelayan. Tapi ia punya indikator sederhana. “Sekarang tak ada lagi ibu-ibu yang mengutang beras di warung.”

Tinggalkan komentar